6 Apr 2009

TEORI NEGARA ISLAM


A. Pendahuluan
Agama dalam suatu struktur sosial kemasyarakatan, tidak hanya menelurkan berbagai macam bentuk dan corak serta keberagaman dalam aliran keagamaan dan tata cara beribadah, tetapi juga memberikan ruang gerak bagi beberapa dimensi lain untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, agama juga berhubungan dengan dimensi di luar agama. Agama bisa bersentuhan dengan urusan dan kepentingan ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Dalam realita kehidupan bermasyarakat, tidak jarang agama ditarik ke dalam urusan non-agama, atau hal-hal non-agama dikaitkan dan dipandang melalui perspektif agama, diantaranya adalah mengenai negara.
Negara atau dalam Islam disebut dengan al daulah, lahir dari perkembangan sebuah peradaban. Dalam hal ini, negara merupakan suatu unsur yang fundamental dalam masyarakat. Roger H. Soultau memberi definisi terhadap negara sebagai alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat.
Menurut Ibnu Khaldun, negara timbul dari sifat manusia yang makhluk sosial. Artinya, manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri untuk melangsungkan kehidupan. Oleh karena itu, manusia memerlukan kerjasama dengan manusia lainnya. Selanjutnya dari kerjasama tersebut, lahirlah suatu organisasi kemasyarakatan.
Setelah terbentuknya organisasi kemasyarakatan, maka masyarakat yang berada dalam organisasi tersebut membutuhkan sesorang tokoh untuk menjadi penengah dalam mayarakat tersebut. Hal itu diperlukan untuk menjaga anggota masyarakat dari gangguan dari masyarakat yang lainnya dalam berbagai hal. Dan hendaknya orang yang menjadi penengah adalah orang yang berpengaruh, berwibawa, dan mempunyai otoritas dalam masyarakatnya, sehingga fungsi sebagai penengah dan pelindung bagi masyarakat bisa terwujud. Menurut Ibnu Khaldun, sosok itu ada pada diri seorang raja atau kepala negara.
Islam mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam hal kenegaraan. Sehingga tidak heran jika kemudian muncul istilah ‘negara Islam’ yang pada akhirnya banyak menimbulkan berbagai spekulasi dari para pemikir islam sendiri. Menurut Prof. Leonard Binder, Islam tidak dapat dipisahkan dari politik. Islam itu sendiri adalah agama sekaligus negara.
Namun, tidak selamanya urusan negara akan bergantung kepada agama. Bahkan, ide tentang pembentukan negara Islam, telah menimbulkan benturan-benturan yang serius. Bahkan tidak jarang pula sebagai akibat benturan pemikiran-pemikiran tersebut, menimbulkan konflik di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, antara yang menghendaki cita-cita negara Islam dan yang menghendaki nation state yang diklaim sekuler.
Berbicara mengenai Negara Islam, ada baiknya jika kita kembali menengok ke belakang, menuju zaman yang akan menjadi cikal bakal Negara Islam itu sendiri.
Secara historis, Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dengan Mekkah dan Madinah sebagai sentralnya. Dakwah penyebaran agama Islam yang dilakukan Nabi SAW adalah titik awal dari Islam sebagai negara. Karena pada saat itu telah dikenal adanya kekuasaan Islam, yaitu wilayah-wilayah yang telah diduduki Islam dengan pemimpin pusat Rasulullah SAW. Setelah wafatnya Nabi SAW, wilayah kekuasaan Islam meliputi seluruh Jazirah Arab, bahkan sudah keluar dari wilayah Arab.
Tonggak kepemimpinan Islam kemudian diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin. Mereka juga meneruskan upaya Rasulullah SAW untuk menyebarkan Islam sampai keluar Arab. Abu Bakar melakukan ekspansi dan menduduki wilayah Hirah dan Ambar di Mesopotamia (Irak).
Selanjutnya pada masa khalifah Umar Bin Khattab, penyebaran Islam sudah sampai di Sungai Amur Darya di timur dan Mesir di sebelah barat. Kemudian pada masa Ustman Bin Affan, wilayah Islam semakin meluas meliputi: Khurasan, Armenia, Aserbaijan di sebelah timur dan Tunisia (Afrika Utara), Amuriah dan Cyprus (Laut Tengah) di sebelah Barat/Utara.
Demikianlah, setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir, maka tonggak Islam di pegang oleh Dinasti Umayyah dan Abassiyah. Adapun system pemerintahan kedua dinasti tersebut telah sedemikian sempurna dengan wujud Negara Islam seutuhnya.
Lalu, bagaimana konsep negara Islam itu sendiri menurut ulama dan pemikir Islam?

B. Konsep Negara Islam
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan di atas, pada bagian ini akan dibahas mengenai konsep negara Islam secara gari besar dari beberapa ulama dan pemikir Islam.

Pemikir Islam Klasik
Para pemikir Islam klasik seperti Al Mawardi dan Ibnu Khaldun mempunyai pandangan bahwa Negara terjadi dari masyarakat yang bersifat social. Artinya, dari sifat manusia yang lemah dan tidak mampu untuk hidup sendiri tersebut, mereka lalu bekerja sama untuk bisa saling membantu dan mencukupi satu sama lain. Dari kerja sama tersebut, kemudian lahir keinginan untuk membentuk negara yang didasari oleh keinginan untuk bersatu dan saling membantu satu sama lain.
Menurut Al Mawardi Negara merupakan lembaga politik dengan sanksi keagamaan yang menekankan syari’ah. Menurutnya Imam adalah khalifah, raja, sultan, atau kepala Negara. Karena Allah SWT mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai khalifah (pengganti) Rasulullah SAW untuk mengamankan agama dan disertai pula mandat politik. Sehingga, menurut Al Mawardi, seorang Imam selain sebagai pemimpin agama, juga sebagai pemimpin politik (negara).
Masih menurut Al Mawardi, dari segi politik, negara memerlukan enam sendi utama:
a. Agama yang dihayati, diperlukan sebagai pengendali hawa nafsu dan merupakan sendi yang paling utama.
b. Penguasa yang berwibawa (Imam/khalifah), karena dengan wibawanya dia dapat mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda, membina negara, melindungi jiwa, kekayaan dan kehormatan warga Negara.
c. Keadilan yang menyeluruh, karena dengan keadilan yang menyeluruh akan menimbulkan rasa hormat dan ketaatan kepada pimpinan.
d. Keamanan yang merata, menciptakan ketenangan lahir maupun batin. Hal ini terjadi karena adanya keadilan yang merata.
e. Kesuburan tanah yang berkesinambungan.
f. Harapan kelangsungan hidup.
Meskipun demikian, Al Mawardi tetap berhati-hati mengenai sistem Islam terutama mengenai pengangkatan kepala negara. Karena menurutnya dari zaman Rasulullah SAW tidak ditemukan bentuk yang baku dalam sistem ini, sehingga belum bisa dipastikan yang mana system Islam yang sebenarnya.
Dalam konteks yang sama, yakni negara Islam, Ibnu Khaldun menyamakan istilah mamlakah, dar al Islam (kerajaan/Negara) sebagai khilafah atau imamah, yaitu lembaga politik yang memerintahkan rakyat sesuai dengan peraturan syariah agama untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat.
Pada hakikatnya, khalifah adalah sebagai pengganti Rasulullah SAW dalam menegakkan dan mempertahankan agama serta menjalankan kepemimpinan dunia. Artinya, di sini Ibnu Khaldun memahami bahwa eksistensi institusi khilafah merupakan otoritas dua kepemimpinan, yaitu sebagai pemimpin agama dan pemimpin umat secara keseluruhan.
Mengenai masalah kenegaraan ini, Ibnu Khaldun mempunyai teori ‘Ashabiyah yang berhubungan erat dengan teori siklus Negara. ‘Asyabiyah adalah rasa cinta/fanatisme (nu’rat) seseorang terhadap keturunannya, keluarga dan golongannya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‘ashabiyah (solidaritas/fanatisme) oleh Ibnu Khaldun di sini adalah solidaritas yang didasarkan pada factor-faktor agama atau factor duniawi yang legal, bukan solidaritas yang didasarkan pada sikap sombong, takabur, dan keinginan untuk bergabung hanya dengan suku yang kuat dan terhormat.
Abdul Raziq Al Makki memberikan lima bentuk ‘asyabiyah, yaitu:
a. ‘ashabiyah kekerabatan dan keturunan, merupakan ‘ashabiyah yang paling kuat.
b. ‘ashabiyah persekutuan yang terjadi karena keluarga seseorang dari garis keturunannya yang semula ke garis keturunan yang lain.
c. ‘ashabiyah kesetiaan , yang terjadi karena peralihan seseorabg dari satu garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan yang lain akibat suatu kondisi (timbul dari penggabungan seseorang pada garis keturunan yang baru).
d. ‘ashabiyah penggabungan, yang terjadi karena larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya, kemudian bergabung dengan keluarga dan kaum yang lain.
e. ‘ashabiyah perbudakan, yang timbul dari hubungan antara para budak dan kaum mawali dengan tuan-tuan mereka.
Dalam konteks kekinian, ‘ashabiyah dalam hal kenegaraan, bisa pula diartikan sebagai nasionalisme atau patriotisme, sehingga tidak heran jika sangat berpengaruh terhadap eksisitensi Negara itu sendiri. Teori siklus yang dicetuskan oleh Ibnu Khaldun memberi gambaran bahwa Negara itu muncul, berkembang, mundur, dan akhirnya hancur, mempunyai fase-fase yang tertentu dalam rentang waktu sekitar seratus tahun. Dalam rentang waktu tersebut Negara mengalami lima fase perkembangan:
1. Fase penaklukan, dengan cara merebut dan menguasai dari pemimpin yang sebelumnya. (‘ashabiyah masih kuat)
2. Fase pembinaan, kondisi masyarakat telah berubah dari tradisi al badawah ke al hadarah dan tunduk kepada penguasa. Kekuasaan cenderung terpusat pada seorang penguasa. (‘ashabiyah sudah mulai berkurang kekuatannya).
3. Fase kejayaan, negara mencapai tingkat kemajuan yang tinggi, dan hidup mewah. (Tahap ini ‘ashabiyah telah melemah, dan tidak dibutuhkan lagi oleh penguasa karena sudah merasa kuat).
4. Fase kemunduran, para pemimpin pada tahap ini terdiri tas orang-orang yang kurang kreatif hanya menerima dan mengikuti penguasa sebelumnya.
5. Fase kehancuran, negara telah memasuki masa tua. Pada masa ini penguasa suka hidup berfoya-foya dan menghamburkan kekayaan. Negara telah hancur secara ekonomis dan politis karena ‘ashabiyah telah sirna dan tidak ada sumber ekonomi yang kuat.
Namun, Ibnu Khaldun kembali menjelaskan bahwa teorinya tidak selalu benar. Dalam arti, ada juga Negara yang berumur lebih dari seratus tahun. Mengenai sebab berdiri, jaya, mundur, lalu hancur, juga bermacam-macam, tidak hanya karena ‘ashabiyah, tetapi juga karena ekonomi, kemewahan, kerusakan moral. Selain itu bisa juga disebabkan hukum alam seperti wabah penyakit atau bencana alam.

Pemikir Islam Kontemporer
Menurut Isma’il Al Faruqi, Negara Islam merupakan suatu tatanan dunia yang di dalamnya ada pemerintahan, peradilan, konstitusi, dan tentara yang pokok ajarannya adalah keadilan dan persamaan.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa secara internal, Negara Islam tidak membenarkan terjadinya penindasan terhadap umat lain. Secara eksternal, Negara Islam bersifat ideologis, mendekati negara-negara, suku, atau kelompok lain agar mau masuk ke dalam umat menjadi negara Islam. Hal ini menujukkan bahwa Negara Islam mau berhubungan dengan negara lain secara damai.
Menurut Al Faruqi pula, wilayah Negara Islam adalah keseluruhan dunia. Warganya tidak harus semuanya muslim, yang penting mereka setuju hidup di bawah daulat Negara Islam karena setuju dengan tatanan dan kebijaksanaannya.
Sementara itu, Abu Al A’la Al Maududi, mempunyai tiga dasar keyakinan yang melandasi pikiran-pikirannya tentang kenegaraan menurut Islam:
1. Islam adalah suatu agama yang sempurna yang dilengkapi dengan petunjuk untuk mengatur segala sendi kehidupan termasuk politik. Oleh karena itu, tidak perlu bahkan dilarang meniru system barat.
2. Kekuasan atau kedaulatan tertinggi adalah Allah SWT dan umat manusia hanya sebagai khalifah Allah di bumi.
3. Sistem politik Islam adalah suatu sistem politik universal dan tidak mengenal batas-batas, ikatan-ikatan, geografi, bahasa, dan kebangsaan.
Berdasarkan tiga hal tersebut Al Maududi menentang gagasan nasionalisme Islam yang merupakan garis perjuangan Liga Muslim. Menurutnya, nasionalisme adalah produk yang diimpor dari system barat yang pada prinsipnya menganut kedaulatan rakyat bukan kedaulatan Tuhan, serta cendurung pada sekularisme memisahkan antara agama dan Negara. Selain itu, nasionalisme berpandangan sempit, bukan universal sehingga memudahkan perpecahan.
Selanjutnya dari tiga dasar tersebut muncul pula beberapa konsepsi Negara Islam menurut Al Maududi:
1. Sistem kenegaraan tidak dapat disebut demokrasi, tetapi teokrasi, yaitu kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh umat Islam atau bias disebut juga kedaulatan rakyat yang terbatas.
2. Pemerintah/eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh umat Islam.
3. Kekuasaan negara dilakukan oleh lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
4. Syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang bias dipilih sebagai kepala Negara adalah: beragama islam, laki-laki, dewasa, sehat fisik dan mental, saleh, warga terbaik, dan punya komitmen yang kuat dalam Islam.
5. Keanggotaan Majelis Syura terdiri dari orang-orang yang beragama Islam, saleh, dewasa dan laki-laki untuk menafsirkan syariah dan menyusun undang-undang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunah.
6. Dalam negara Islam terdapat dua golongan kewarganegaraan, yaitu warga Negara yang beragama Islam dan yang tidak beragama Islam.
Pemikiran dan konsep Al Mududi tersebut jauh dengan konsep Ali Abdul Ar Raziq. Menurut Ali Abdur Raziq dalam bukunya Al Islam wa Ushul al Hukm, Islam tidak menetapkan suatu rezim tertentu dan tidak pula memaksakan kepada kaum muslimin suatu system pemerintahan tertentu. Akan tetapi, islam memberikan kebebasan mutlak kepada orang muslim untuk mengurus negaranya sesuai dengan yang diinginkannya.
Selain itu, Ali Abdur Raziq juga mengatakan bahwa Al Qur’an dan As Sunah tidak pernah memberikan penjelasan mengenai khalifah dan system politik apa yang harus dipakai oleh umat Islam. Dia juga menegaskan bahwa pemerintahan yang dilakukan Nabi SAW dulu adalah suatu tugas yang terpisah dari da’wah islamiyyah yang sudah diwahyukan kepadanya. Dengan kata lain, pemerintahan yang pernah dilakukan oleh Nabi adalah ‘Amaliyah Duniawiyah yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulan. Sebab pada dasarnya risalah bukan kerajaan atau pemerintahan.

C. Hukum Mendirikan Negara Islam
Konsep dasar islam mengenai kehidupan adalah bahwa manusia harus berserah diri dan membaktikan dirinya secara total kepada Allah SWT. Pun demikian halnya, manusia harus menegakkan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah. Seorang manusia akan bisa menegakkan hukum Allah SWT jika berada dalam suatu negara Islam yang juga akan menegakkannya.
Selanjutnya Al Maududi juga menambahkan, kaitannya dengan dengan Surat An Nur: 2. Dalam ayat itu memberi hukuman pidana bagi pezina adalah menegakkan hukum Allah (syari’at). Ini berarti agama Islam bukan hanya urusan shalat, puasa, dan haji saja, melainkan juga urusan hukum negara dan institusi kenegaraan. Jika ingin menegakkan agama Allah, berarti kita juga harus menegakkan hukum Allah dan menjadikan syariah sebagai undang-undang Negara.

D. Kesimpulan; Sebuah Analisa
Pemikir-pemikir seperti Al Mawardi dan Ibnu Khaldun mempunyai konsep yang hampir sama, dalam terjadinya suatu negara. Khalifah atau imam menjadi sosok yang representatif untuk memimpin suatu negara. Akan tetapi, Al Mawardi dalam hal cara pengangkatan khalifah tidak memberikan suatu pendapat yang paten, karena memang menurutnya masih belum diketahui secara jelas mana system yang baku untuk itu. ‘Ashabiyah dalam konsep Ibnu Khaldun mempunyai dampak yang besar dalam tumbuh kembang suatu negara.
Al Faruqi dengan konsepnya menjadikannya paling moderat diantara para pemikir. Artinya, Negara Islam dalam konsepnya telah disulap menjadi Negara yang penuh persamaan dan toleransi. Sehingga semua masyarakat, termasuk non muslim bisa masuk dalam Negara Islam jika setuju dengan segala kedaulatannya.
Sedangkan Al Maududi terkesan rigid dan sangat ekstrem. Sehingga, dari penampilan yang kaku tersebut menimbulkan celah-celah inkonsistensi. Hal ini terlihat dari penolakannya terhadap system barat, namun dalam konsep kekuasaan Negara, dia menganut trias politika yaitu, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang notabene merupakan produk system barat.
Adapun Ali Abdur Raziq sangat bertolak belakang dengan Al Maududi. Dengan konsepnya, Ali Abdul Raziq memberikan pemisahan yang signifikan antara agama dan negara, sehingga menganggap dakwah Islam berdiri sendiri dari pemerintahannya. Padahal tidak. Penyebaran agama Islam tidak selalu mulus, ada beberapa daerah yang dikuasai oleh kerajaan dengan sistem pemerintahan yang sudah maju, seperti Byzantium misalnya, sehingga harus dilawan juga dengan pemerintahan pula. Dari situ Rasul mempunyai peran ganda, yaitu sebagai nabi dan panglima perang sekaligus kepala pemerintahan.
Adapun mengenai hukum mendirikan negara Islam, Al Qur'an maupun Hadits tidak memberikan konsep yang jelas. Akan tetapi, berdasarkan kajian normatif, yang oleh Al Maududi didasarkan kepada Surat An Nur:2, maka menegakkan hukum pidana yang notabene memuat institusi Negara Islam adalah sama halnya menegakkan hukum Allah, sedangkan menegakkan hukum Allah adalah wajib bagi setiap orang. Sehingga dari konsep ini, mendirikan negara Islam adalah wajib.

Relevansi dengan masa sekarang
Namun demikian, Islam merupakan agama yang fleksibel, berprinsipkan persamaan, toleransi, dan juga tenggang rasa dan tidak memaksa. Negara timbul dari berbagai latar belakang, kultur, dan sosial kemasyarakatan yang berbeda. Lagi pula, Indonesia sudah terlanjur kokoh berdiri dengan landasan yang sedemikian kuatnya.
Selain itu, Indonesia adalah negara plural yang terdiri dari berbagai suku, dan keyakinan serta agama. Dari sini, bisa ditarik kesimpulan, bahwa konsep negara Islam tidak relevan jika diterapkan di Indonesia. Segetol apa pun konsep khilafah dicekokkan ke dalam masyarakat Indonesia, bisa dijamin pasti gagal dan tidak akan mampu merubah ideologi Indonesia, karena dari segi latar belakang masyarakat dan budaya, jelas Indonesia bukan Arab yang notabene pusat Islam. Meskipun Indonesia memiliki pemeluk agama Islam terbesar di dunia, tapi dari segi sajarah dan filosofi timbulnya negara, Indonesia tetap berbeda dengan negara-negara yang berlatar belakang Islam. Jadi, mari kita introspeksi diri, bukan saatnya merubah ideologi, tapi bagaimana cara membangun negara ini menjadi negara yang makmur yang berketuhanan yang maha esa.
Hemat penulis, sebuah negara tidak harus bersistem Islam, tetapi bagaimana sebisa mungkin agama Islam diterapkan dalam setiap sendi negara tersebut.



Referensi
A. Maftuh Abegebriel et al. 2004. Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia. Yogjakarta: SR-Ins Publishing.
Abul A’la Al Maududi. 1995. Hukum dan Konstitusi Sistem Polotik Islam (The Islamic Law and Constitution). Bandung: Mizan.
Al Mawardi. Al Ahkam Shultoniyah. Dalam, Ma’mun Murod Al Brebesy. 1999. Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara. Jakarta:Grafindo Persada.
Fadil SJ. 2008. Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Malang: UIN-MALANG Press.
Leonard Binder. The Ideological Revulution In The Middle East. dalam, Manoucher Paydar. 2003. Legitimasi Negara Islam Problem Otoritas Syariah dan Politik Penguasa (Aspect of the Islamic State: Religious Norm and Political Realities. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Muhammad A. Al-Buraey. 1986. Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan. Jakarta: Rajawali.
Munawir Sjadzali. 1993. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikian. Jakarta: UI-Press.
Pahruroji M. Bukhori. 2003. Membebaskan Agama dari Negara; Pemikiran Aburrahman Wahid dan ‘Ali Abd ar Raziq. Bantul: Pondok Edukasi.
Syafiuddin. 2007. Negara Islam menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Gama Media.

AKTA SEBAGAI ALAT BUKTI; Apa dan Bagaimana?

A. Latar Belakang Masalah
Dalam setiap sengketa perkara, baik perkara perdata maupun pidana, pastidak akan lepas dari pembuktian. Pembuktian merupakan sesuatu yang mutlak harus ada. Karena, menang atau kalahnya seorang penggungat atau tergugat, tergantung bagaimana kevalidan bukti-bukti yang diajukan ke pengadilan. Semakin kuat bukti, maka semakin kuat pula keyakinan seorang hakim mengenai kebenaran suatu perkara.
Salah satu bentuk alat bukti adalah akta. Akta atau surat yang otentik bisa dikatakan sebagai alat bukti yang paling sempurna. Lalu bagaimana mengenai seluk beluk akta itu sendiri? Pnenjelasan mengenai hal itu ada di sub bab selanjutnya.

B. Macam-Macam Alat Bukti
Ketentuan alat bukti dan pembuktian dalam perkara perdata terikat kepada stb 1941 NO. 44 (HIR) dan kitab Undang-Undang hukum perdata (BW). Berdasar 164 HIR dan pasal 1886 BW, alat-alat bukti dalam hukum acara perdata adalah:
a. Bukti tertulis/surat
b. Bukti dengan saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Dalam prakteknya masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan ialah pengetahuan hukum, yang dimaksud dengan pengetahuan hukum adalah hal atau keadaan yang diketahui sendiri dalam sidang misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang penggugat yang dirusak oleh tergugat dan sampai seberapa jauh kerusakannya.
Selain bukti-bukti diatas masih ada pendapat yang menyatakan bahwa keterangan ahli juga termasuk alat bukti (pasal 15 Hukum acara perdata) sebaliknya Diantara alat-alat bukti yang disebut diatas dalam pasal 1866 ada yang dianggap bukan alat bukti yaitu pengakuan, karena dengan pengakuan itu pembuktian lebih lanjut tidak diperlukan lagi kemudian persangkaan sebetulnya juga bukan merupakan alat bukti karena pada hakikatnya adalah kesimpulan yang diambil oleh hakim.
Dari alat-alat bukti diatas pemakalah akan menerangkan alat bukti yang pertama yaitu pembuktian dengan alat bukti tertulis/surat.

C. Pengertian Akta/Surat
Sebelum membahas mengenai akta, terlebih dahulu diuraikan dan dijelaskan mengenai akta tersebut. Istilah akta dalam bahasa belanda disebut “acte” dan dalam bahasa inggris disebut “act” .
Menurut S.J.fockema andreane dalam bukunya “rechtgelewerd handwoorddenboek” kata akta itu berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti geschrift” atau surat, saedangkan menurut R. subekti Tjitro sudibyo dalam bukunya kamus hukum, bahwa akata merupakan bentuk jamak dari “actum” yang berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan. A. pitlo mengartikan akta sebagai berikut surat surat yang ditandatangani, dibuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.
Disamping pengertian akta sebagai surat yang saengaja dibuat untuk dipakai dsebnagai alat bukti, dalam peraturan undang-undang sering kita jumpai perkataan akta yang maksudnya sama sekali bukanlah surat melainkan perbuatan.
Jadi dapatlah disimpulkan yang dimaksud dengan akta adalah:
1. Perbuatan hukum dalam pengertian luas
2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu.
Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian aktra ini dalam perundang-undangan kita, maka yang pemakalah maksudkan dengan akta dalam pembahasan ini adalah akta surat yang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti.

D. Dasar Hukum Akta
Menurut system HIR dan RBg hakim terikat dengan alat-alat bukti sah yang diatur oleh undang-undang.dasar hukum akta/ surat diatur dalam pasal 165, 167 HIR, Stb No. 29 Tahun 1867. Pasal 285-305 RBG, surat merupakan alat bukti tertulis yang memuat tulisan untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti. Dan dalam BW juga diatur tentang permulaan bukti tertulis Pasal 1902 ayat 2 BW yang berbunyi: dalam segala hal dimana oleh undang-undang diperintahkan suatu pembuktian dengan tulisan-tulisan namun itu jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan diperkenankanlah pembuktian dengan saksi-saksi, kecuali apabila tiap pembuktian lain dikecualikan selain dengan tulisan yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah aturan tertulis.

E. Macam-Macam Akta
Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1. Akta
2. Surat –surat lainnya yang bukan akta,yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu ditandatangani.
Sedangkan akta itu ada dua macam yaitu ;
1. Akta otentik
2. Akta tidak otentik (akta bawah tangan)
Sedangkan pengertian akta itu sendiri adalah surat yang diberi tandatangan ,yang memuat peristiwa peristiwa yang menjadi dasat suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Adapun pengertian akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu,dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti.(pasal 1868 BW)
Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat akta otentik antara lain adalah notaris, pegawai cacatan sipil, panitera pengadilan, juru sita.Dalam melakukan pekerjaannya pejabat-pejabat tersebut terikat pada sarat dan ketentuan undang-undang, sehingga merupakan jaminan untuk mempercayai hasil pekerjaannya
Syarat-syarat akta otentik ada tiga yaitu:
1. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
2. Dibuat dalam bentuk sesuasi ketentuan yang ditetapkan untuk itu
3. Dibuat ditempat dimana pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Akta otentik dibagi lagi menjadi dua macam yaitu:
1. Akta yang dibuat oleh pejabat (acta ambtelijk, process verbal acte), ialah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu karena jabatannya tanpa campur tangan pihak lain, dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat, didengat serta apa yang dilakukannya.
2. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (partij acte) ialah akta yang dibuat oleh para pihak dihadapan para pejabat yang berwenang untuk itu atas kehendak para pihak, dimana pejabat tersebut menerangkan juga apa yang dilihat,didengar dan dilakukannya.

Akta tidak otentik yang sering disebut akta dibawah tangan. Kata-kata “dibawah tangan” adalah terjemahan harfiyah dari bahasa aslinya bahasa belanda yaitu onderhandsh acte ,dikatakan akta tidak otentik karena tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, melainkan dibuat sendiri oleh pihak yang berkepentingan dengan tujuan dijadikan alat bukti.
Perbedaan akta otentik dan askta dibawah tangan yaitu, bahwa kata otentik merupakan suatu akta yang sempurna, sehingga mempunyai bukti baik secara formiil maupun materiil. Kekuatan pembuktiannya telah melekat pada akta itu secara sempurna. Jadi bagi hakim ia merupakan bukti sempurna sedang akta dibawah tangan baru mempunyai bukti materil jika telah dibuktikawn kekuatan formiilnya dan kekuatan formiilnya baru terjadi setelah pihak yang bersangkutan mengakui akan kebenaran isi dan cara pembuatan akta tersebut, dan bagi hakim merupakan bukti bebas.dan akta otentik mesti terdaftar pada register untuk itu dan tersimpan sehingga kemungkinan hilangnya akta sangat kecil sedangkan akta dibawah tangn tidak terdaftar, sehingga kemungkinan hilangnya lebih besar.

F. Fungsi Akta
Fungsi akta ini ada dua macam fungsi , yaitu fungsi formiil(formalitas causa ) dan fungsi materiil (probationis causa)
1. Fungsi formal, yaitu adanya akta nerupakan syarat sah suatu perbuatan hukum misalnya:pasal 1767 BW tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga.
2. Fungsi materiil, yaitu fungsi akta sebagai alat bukti, meskipun bukan syarat syahnya suatu perbuatan hukum
Mengenai fungsi akta sebagai alat bukti selanjutnya akan dibahas tersendiri dalan kekuatan pembuktian akta.

G. Kekuatan Pembuktian Akta
Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga macam , yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahir
Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya.Akta otentik mempumyai kekuatan lahir sesuai dengan asas akta publica probant seseipsa yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, bila syarat-syarat formal diragukan kebenarannya oleh pihak lawan, dia dapat meminta kepada pengadilan untuk meneliti kata tersebut berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan oleh fihak lawan. Kenudian majlis hakim memutuskan apakah akta otentik itu boleh digunakan sebagai bukti atau tidak dalam perkara.
2. Kekuatan pembuktian formiil
Kekuatan pembuktian formiil ini berarti bahwa apa yang disebutkan didalam suatu akta itu memang benar apa yang diterangkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya pejabat dan pihak-pihak yang berkepentingan menerangkan dan melakukan seperti disebutkan dalam akta dan benar demikian adanya. Jadi formalitas yang ditentukan undang-undang benar-benar dipenuhi, namun suatu ketika mungkin juga ada fihak yang meragukan kebenarannya bila akta itu dijadikan bukti dalam perkara misalnya saja dalam akta otentik dikatakan bahwa penyerahan barang dilakukan dirumah dalam keadaan baik, padahal sebenarnya bukan diserahkan dirumah melainkan disuatu tempat lain dan dalam keadaan baik padahal sebenarnya bukan diserahkan dirumah melainkan ditempat lain dan alam keadaan baik, ketika dibawa kerumah terjadi kerusakan,dalam akta otentik pejabat menerangkan bahwa barang diserahkan dirumah dalam keadaan baik, ketrerangan hanya bersifat formlitas belaka, keadaan demikian prlu dipertimbangkan oleh majelis hakim apakah akta itu dapat dijadikan bukti atau tidak.
3. Kekuatan pembuktian materiil
Kekuatan pembuktian materil berarti bahwa apa yang dimuat dalam akta itu memang benar dan memang sungguh-sungguh terjadi antara para \pihak (jadi tidak hanya diucapkan saja oleh para pihak,tapi juga memang sungguh-sungguh terjadi). Misalnya dalam suatu akta disebutkan penyerahan 1200 buah jam tangan merek nelson, tetapi nyatanya hanya 200 buah merek nelson sedangkan selebihnya merek mido. Bila ada yang meragukan kebenaran isi akta ini dia dapat meminta kepada hakim agar akta yamg diragukan kebenaran isinya itu diteliti kebenarnnya, bila ternyata benar akta itu palsu maka majelis hakim memerintahkan agar akta dikirim kekejaksaan untuk dituntun perkara pidana sedangkan perkara perdatanya ditunda sampai selesai perkara pidana. Insiden dalam pembuktian akta otentik seperti ini dapat terjadi, baik atas inisiastip pihak yang bersangkutan maupun dari pihak majelis hakim.



REFERENSI:
Bambang Waluyo, S.Hsisatem pembuktian dalam peradilan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika 1996
Ny. Retno Wulan Susantio, S.H, ahukum acara perdata, Bandung: Mandar Naju, 2005
Prof. Ali Afandi, S.H. hukum waris, hukum keluarga, hukum pembuktian, Jakarta: Pt Bima Sakti 1986,
Viktor M. Sitomurang, S.H, Grosse Akta dalam pembuktian damevas, Jakarta: PT. ranika Cipta
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, bandung: PT: Citra Aditya Bakti, 2000,
R. Subekti dam R. Tjikrosudibio, kitab undang-undang hukum perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006
Drs. H.A.Mukti Arto, S.H., praktek perkara perdata Pada Pengadilan agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008
M. Nur Rasaid, SH., hukum acara perdat, Sinar Grafika, 2005
Drs. H.A.Mukti Arto, S.H., praktek perkara perdata Pada Pengadilan agama

30 Mar 2009

MAKNA AKTIVIS KAMPUS SESUNGGUHNYA


Seluruh Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta di kota-kota seluruh Indonesia, tak terkecuali di Surabaya, tidaklah lepas dari peran organisasi kampus, baik organisasi internal kampus, maupun eksternal. Bagi mahasiswa, organisasi bisa dikatakan kampus kedua. Karena memang organisasi mempunyai peranan yang cukup vital dalam mencetak karakter mahasiswa yang militan.
Tentu yang dimaksud di sini adalah mahasiswa-mahasiswa yang melek terhadap organisasi kampus. Karena, masih banyak mahasiswa yang ternyata anti terhadap organisasi. Mungkin kalau masuk organisasi hanya karena ikut-ikutan, karena merasa tidak enak terhadap kawan dekatnya atau hanya ingin mencari kenalan dan kawan baru saja. Mahasiswa yang seperti itu lebih tepat disebut dengan istilah mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Berangkat ke kampus, kuliah, dan pulang, tanpa tahu dan mendengar isu-isu yang sedang hangat dibicarakan.
Sedangkan bagi mahasiswa yang melek terhadap organisasi, masuk ke dalam suatu organisasi bagaikan mata kuliah yang wajib diambil. Berorganisasi bukan hanya sarana mencari teman dan pengalaman baru saja, tetapi juga mencari ilmu-ilmu dan pengetahuan baru yang yang mungkin tidak didapatkan dalam perkuliahan. Tidak hanya itu, berorganisasi juga ditujukan agar nalar ini menjadi pecah dan berkembang. Nah, dari organisasi-organisasi itulah, pada akhirnya muncul sekelompok orang pemikir dan pejuang yang bersedia melakukan perubahan ke arah perbaikan nasib bangsa dengan segenap kemauan dan kemampuan, atau yang lebih populer dengan sebutan aktivis kampus.
Pada masa-masa sekarang ini, banyak mahasiswa yang meniti karier menjadi aktivis. Bahkan, banyak mahasiswa yang ingin disebut sebagai aktivis kampus secara paksa. Artinya, banyak mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya (meskipun tidak secara langsung) sebagai aktivis, sedangkan kredibilitasnya untuk bisa disebut sebagai aktivis sebenarnya masih belum mumpuni. Karena menurut mereka, aktivis merupakan suatu gelar dan status sosial yang bisa dibanggakan dan membedakannya dari mahasiswa lainnya. Akibatnya, banyak yang terjebak ke dalam nama, sebutan, dan definisi semata, yang pada kenyataannya tidak mengetahui esensinya.

Salah Terapan
Berangkat dari kesalahan mendasar yaitu kesalahan pemahaman esensi makna aktivis itulah, maka terjadi masalah yang berbuntut panjang dan berdampak pada aplikasi di lapangan, sehingga jargon mahasiswa pada umumnya dan para aktivis khususnya, The Agent Of Change, sulit terwujudkan.
Karena kesalahan pemahaman itu pula, tidak jarang terlihat para aktivis yang berusaha untuk menguasai peta politik kampus, sehingga organisasi-organisasi intern kampus yang mempunyai peran vital bagi kemajuan kampus, misalnya BEM Kampus atau BEM Fakultas, hanya dikuasai oleh orang-orang dan kelompok yang itu-itu saja dengan mengusung kebijakan-kebijakan yang mengutamakan dan menguntungkan dirinya sendiri dan golongannya, sehingga tujuan utamanya memperjuangkan nasib seluruh mahasiswa dan civitas akademika menjadi menguap.
Selanjutnya, dengan disadari ataupun tidak, akan ada suatu proses penyekatan dan pengkotakan idealisme dan egoisme antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, atau mahasiswa yang aktivis dengan yang non-aktivis, sehingga apabila idealisme-idealisme yang berbeda tersebut saling berbenturan, maka mau tidak mau akan mengancam harmonisasi kampus. Realitanya, suatu saat ketika salah satu kelompok menginginkan demonstrasi, sedangkan kelompok yang lain ingin mengikuti kuliah, maka terjadi suatu perdebatan sengit mengenai pentingnya mengikuti kuliah dan berdemo, yang akhirnya terjadi pemblokiran kelas-kelas yang masih melaksanakan perkuliahan dan pemaksaan terhadap mahasiswa untuk mengikuti demonstrasi.
Dari realita itu jelas sekali terlihat bahwa perbedaan bendera idealisme akan menjadi jurang pemisah yang kemudian memunculkan suasana yang tidak sinergis terhadap arah pergerakan.
Namun, terlepas dari semua itu, pergerakan yang dilakukan oleh para aktivis, telah berhasil merubah sistem pemerintahan republik ini. Sistem demokrasi terpimpin yang digelar oleh penguasa orde baru dan antek-anteknya telah berhasil dirubah menjadi demokrasi yang berazaskan kebebasan rakyat dalam berapresiasi dan berekspresi, meskipun untuk itu, mereka telah rela mengorbankan nyawa sekalipun.

Aktivis Sesungguhnya
Stereotip yang mengatakan bahwa seorang aktivis adalah mahasiswa yang berIPK di bawah rata-rata, masih melekat hingga sekarang. Bahkan, hal itu dijadikan salah satu “syarat” untuk menjadi seorang aktivis. Artinya, seorang mahasiswa baru bisa dikatakan menjadi seorang aktivis apabila dia aktif di suatu organisasi yang sampai-sampai kuliahnya keteteran dan IPK-nya jeblog. Setidaknya paradigma itulah yang terpakai hingga sekarang untuk mengukur layak tidaknya seorang mahasiswa menyandang gelar aktivis. Dan anehnya, yang menyandang gelar tersebut tetap enjoy tanpa merasa mempunyai beban yang harus dipertanggungjawabkan karena menyandang gelar tersebut.
Padahal, nilai yang jeblog karena kuliah keteteran akan dan pasti menghambat proses penyelesaian studi dengan konsekuansi biaya yang harus ditanggung semakin tinggi. Belum lagi jika fakultas “berkata lain”, maka harus lulus dengan predikat drop uot. Atau pun jika berhasil lulus, maka akan menjadi output yang tidak begitu menggembirakan. Selain itu, akan mempersulit untuk mendapatkan pekerjaan, karena biasanya perusahaan melihat bukan hanya bagus tidaknya nilai, tetapi juga tepat waktu atau tidaknya penyelesaian studi. Semakin cepat seorang mahasiswa menyelesaikan studinya (dengan nilai yang bagus tentunya), maka nilai jualnya akan semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu, maka paradigma yang semacam itu sudah saatnya diluruskan. Sudah saatnya tidak ada lagi mahasiswa yang masuk ke ruang kuliah memakai sandal dan busana yang acak-acakan, atau jarang masuk kuliah dengan alasan sibuk berorganisasi (konotasi-konotasi yang biasanya dilekatkan pada sosok aktivis). Karena aktivis kampus yang sesungguhnya adalah mahasiswa yang mempunyai intelektual tinggi, mempunyai prinsip, berorientasi masa depan, mau dan mampu memperjuangkan nasib rakyat, dan berkomitmen untuk menyelesaikan studinya tepat pada waktunya. Di luar itu rasanya tidak pantas untuk disebut sebagai aktivis, atau lebih tepatnya disebut aktivis gadungan.

25 Mar 2009

DEMI PENGABDIAN, MAHASISWA SYARI’AH PROGRAM KHUSUS BACK TO NATURE


MAHASISWA Syari’ah Program Khusus IAIN Sunan Ampel Surabaya yang berada di bawah naungan Departemen Agama (Depag), kembali mempunyai hajatan besar. Yaitu program pembinaan yang diselenggarakan oleh Depag yang juga diikuti oleh seluruh penerima beasiswa di sembilan Perguruan Tinggi. Namun, program kali ini akan terasa sangat berbeda. Karena pada pembinaan kali ini akan mengambil tempat di Pondok Pesantren Al Hikmah, Brebes, Jawa Tengah. Berbeda dengan penyelenggaraan tahun lalu yang mengambil tempat di Grand Hotel Lembang, Bandung, Jawa Barat.
Program tahunan yang sekarang diikuti oleh lebih dari 1000 mahasantri tersebut, akan dilaksanakan selama 4 hari, terhitung sejak hari Kamis, (13/11) sampai dengan Minggu, (16 /11) dengan mengusung beberapa acara penting.
Yang lebih membuat istimewa dan berbeda dengan penyelenggaraan tahun sebelumnya adalah acara pengabdian bagi mahasantri semester III dan V. Pengabdian ini dimaksudkan sebagai simulasi agar mahasantri mempunyai bekal ketika nanti sudah benar-benar kembali mengabdi di pesantren asal. “Menurut pihak Depag acara pengabdian ini dimaksudkan agar para mahasantri mempunyai bekal dan pengalaman ketika nanti sudah mengabdi di pesantren masing-masing”, ungkap Ahmad Bastomi, yang juga sebagai ketua CSS Komsat IAIN Sunan Ampel Surabaya periode 2007-2008.
Mahasantri asal Kediri, Jawa Timur itu juga menambahkan, bahwa alasan itulah yang mendasari mengapa penyelenggaraan kali ini bertempat di pesantren. “Demi hal itulah mengapa acara ini bertempat di pesantren. Kalau bertempat di hotel seperti tahun-tahun sebelumnya, bagaimana bisa bersimulasi”, ujarnya sambil mengembangkan senyum khasnya.
Terkait dengan pengabdian ini, mahasantri semester III dan V IAIN Sunan Ampel Surabaya mendapat bagian empat mata acara, yaitu penyuluhan masyarakat, pelatihan manajemen organisasi, motivasi briffing, dan mendirikan stand. Khusus mata acara terkhir, setiap Perguruan Tinggi wajib melaksanakan karena akan difungsikan sebagai pusat informasi masing-masing Perguruan Tinggi. Lalu seperti apa konsep tahun yang akan datang? Mari kita tunggu saja!