30 Mar 2009

MAKNA AKTIVIS KAMPUS SESUNGGUHNYA


Seluruh Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta di kota-kota seluruh Indonesia, tak terkecuali di Surabaya, tidaklah lepas dari peran organisasi kampus, baik organisasi internal kampus, maupun eksternal. Bagi mahasiswa, organisasi bisa dikatakan kampus kedua. Karena memang organisasi mempunyai peranan yang cukup vital dalam mencetak karakter mahasiswa yang militan.
Tentu yang dimaksud di sini adalah mahasiswa-mahasiswa yang melek terhadap organisasi kampus. Karena, masih banyak mahasiswa yang ternyata anti terhadap organisasi. Mungkin kalau masuk organisasi hanya karena ikut-ikutan, karena merasa tidak enak terhadap kawan dekatnya atau hanya ingin mencari kenalan dan kawan baru saja. Mahasiswa yang seperti itu lebih tepat disebut dengan istilah mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Berangkat ke kampus, kuliah, dan pulang, tanpa tahu dan mendengar isu-isu yang sedang hangat dibicarakan.
Sedangkan bagi mahasiswa yang melek terhadap organisasi, masuk ke dalam suatu organisasi bagaikan mata kuliah yang wajib diambil. Berorganisasi bukan hanya sarana mencari teman dan pengalaman baru saja, tetapi juga mencari ilmu-ilmu dan pengetahuan baru yang yang mungkin tidak didapatkan dalam perkuliahan. Tidak hanya itu, berorganisasi juga ditujukan agar nalar ini menjadi pecah dan berkembang. Nah, dari organisasi-organisasi itulah, pada akhirnya muncul sekelompok orang pemikir dan pejuang yang bersedia melakukan perubahan ke arah perbaikan nasib bangsa dengan segenap kemauan dan kemampuan, atau yang lebih populer dengan sebutan aktivis kampus.
Pada masa-masa sekarang ini, banyak mahasiswa yang meniti karier menjadi aktivis. Bahkan, banyak mahasiswa yang ingin disebut sebagai aktivis kampus secara paksa. Artinya, banyak mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya (meskipun tidak secara langsung) sebagai aktivis, sedangkan kredibilitasnya untuk bisa disebut sebagai aktivis sebenarnya masih belum mumpuni. Karena menurut mereka, aktivis merupakan suatu gelar dan status sosial yang bisa dibanggakan dan membedakannya dari mahasiswa lainnya. Akibatnya, banyak yang terjebak ke dalam nama, sebutan, dan definisi semata, yang pada kenyataannya tidak mengetahui esensinya.

Salah Terapan
Berangkat dari kesalahan mendasar yaitu kesalahan pemahaman esensi makna aktivis itulah, maka terjadi masalah yang berbuntut panjang dan berdampak pada aplikasi di lapangan, sehingga jargon mahasiswa pada umumnya dan para aktivis khususnya, The Agent Of Change, sulit terwujudkan.
Karena kesalahan pemahaman itu pula, tidak jarang terlihat para aktivis yang berusaha untuk menguasai peta politik kampus, sehingga organisasi-organisasi intern kampus yang mempunyai peran vital bagi kemajuan kampus, misalnya BEM Kampus atau BEM Fakultas, hanya dikuasai oleh orang-orang dan kelompok yang itu-itu saja dengan mengusung kebijakan-kebijakan yang mengutamakan dan menguntungkan dirinya sendiri dan golongannya, sehingga tujuan utamanya memperjuangkan nasib seluruh mahasiswa dan civitas akademika menjadi menguap.
Selanjutnya, dengan disadari ataupun tidak, akan ada suatu proses penyekatan dan pengkotakan idealisme dan egoisme antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, atau mahasiswa yang aktivis dengan yang non-aktivis, sehingga apabila idealisme-idealisme yang berbeda tersebut saling berbenturan, maka mau tidak mau akan mengancam harmonisasi kampus. Realitanya, suatu saat ketika salah satu kelompok menginginkan demonstrasi, sedangkan kelompok yang lain ingin mengikuti kuliah, maka terjadi suatu perdebatan sengit mengenai pentingnya mengikuti kuliah dan berdemo, yang akhirnya terjadi pemblokiran kelas-kelas yang masih melaksanakan perkuliahan dan pemaksaan terhadap mahasiswa untuk mengikuti demonstrasi.
Dari realita itu jelas sekali terlihat bahwa perbedaan bendera idealisme akan menjadi jurang pemisah yang kemudian memunculkan suasana yang tidak sinergis terhadap arah pergerakan.
Namun, terlepas dari semua itu, pergerakan yang dilakukan oleh para aktivis, telah berhasil merubah sistem pemerintahan republik ini. Sistem demokrasi terpimpin yang digelar oleh penguasa orde baru dan antek-anteknya telah berhasil dirubah menjadi demokrasi yang berazaskan kebebasan rakyat dalam berapresiasi dan berekspresi, meskipun untuk itu, mereka telah rela mengorbankan nyawa sekalipun.

Aktivis Sesungguhnya
Stereotip yang mengatakan bahwa seorang aktivis adalah mahasiswa yang berIPK di bawah rata-rata, masih melekat hingga sekarang. Bahkan, hal itu dijadikan salah satu “syarat” untuk menjadi seorang aktivis. Artinya, seorang mahasiswa baru bisa dikatakan menjadi seorang aktivis apabila dia aktif di suatu organisasi yang sampai-sampai kuliahnya keteteran dan IPK-nya jeblog. Setidaknya paradigma itulah yang terpakai hingga sekarang untuk mengukur layak tidaknya seorang mahasiswa menyandang gelar aktivis. Dan anehnya, yang menyandang gelar tersebut tetap enjoy tanpa merasa mempunyai beban yang harus dipertanggungjawabkan karena menyandang gelar tersebut.
Padahal, nilai yang jeblog karena kuliah keteteran akan dan pasti menghambat proses penyelesaian studi dengan konsekuansi biaya yang harus ditanggung semakin tinggi. Belum lagi jika fakultas “berkata lain”, maka harus lulus dengan predikat drop uot. Atau pun jika berhasil lulus, maka akan menjadi output yang tidak begitu menggembirakan. Selain itu, akan mempersulit untuk mendapatkan pekerjaan, karena biasanya perusahaan melihat bukan hanya bagus tidaknya nilai, tetapi juga tepat waktu atau tidaknya penyelesaian studi. Semakin cepat seorang mahasiswa menyelesaikan studinya (dengan nilai yang bagus tentunya), maka nilai jualnya akan semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu, maka paradigma yang semacam itu sudah saatnya diluruskan. Sudah saatnya tidak ada lagi mahasiswa yang masuk ke ruang kuliah memakai sandal dan busana yang acak-acakan, atau jarang masuk kuliah dengan alasan sibuk berorganisasi (konotasi-konotasi yang biasanya dilekatkan pada sosok aktivis). Karena aktivis kampus yang sesungguhnya adalah mahasiswa yang mempunyai intelektual tinggi, mempunyai prinsip, berorientasi masa depan, mau dan mampu memperjuangkan nasib rakyat, dan berkomitmen untuk menyelesaikan studinya tepat pada waktunya. Di luar itu rasanya tidak pantas untuk disebut sebagai aktivis, atau lebih tepatnya disebut aktivis gadungan.

25 Mar 2009

DEMI PENGABDIAN, MAHASISWA SYARI’AH PROGRAM KHUSUS BACK TO NATURE


MAHASISWA Syari’ah Program Khusus IAIN Sunan Ampel Surabaya yang berada di bawah naungan Departemen Agama (Depag), kembali mempunyai hajatan besar. Yaitu program pembinaan yang diselenggarakan oleh Depag yang juga diikuti oleh seluruh penerima beasiswa di sembilan Perguruan Tinggi. Namun, program kali ini akan terasa sangat berbeda. Karena pada pembinaan kali ini akan mengambil tempat di Pondok Pesantren Al Hikmah, Brebes, Jawa Tengah. Berbeda dengan penyelenggaraan tahun lalu yang mengambil tempat di Grand Hotel Lembang, Bandung, Jawa Barat.
Program tahunan yang sekarang diikuti oleh lebih dari 1000 mahasantri tersebut, akan dilaksanakan selama 4 hari, terhitung sejak hari Kamis, (13/11) sampai dengan Minggu, (16 /11) dengan mengusung beberapa acara penting.
Yang lebih membuat istimewa dan berbeda dengan penyelenggaraan tahun sebelumnya adalah acara pengabdian bagi mahasantri semester III dan V. Pengabdian ini dimaksudkan sebagai simulasi agar mahasantri mempunyai bekal ketika nanti sudah benar-benar kembali mengabdi di pesantren asal. “Menurut pihak Depag acara pengabdian ini dimaksudkan agar para mahasantri mempunyai bekal dan pengalaman ketika nanti sudah mengabdi di pesantren masing-masing”, ungkap Ahmad Bastomi, yang juga sebagai ketua CSS Komsat IAIN Sunan Ampel Surabaya periode 2007-2008.
Mahasantri asal Kediri, Jawa Timur itu juga menambahkan, bahwa alasan itulah yang mendasari mengapa penyelenggaraan kali ini bertempat di pesantren. “Demi hal itulah mengapa acara ini bertempat di pesantren. Kalau bertempat di hotel seperti tahun-tahun sebelumnya, bagaimana bisa bersimulasi”, ujarnya sambil mengembangkan senyum khasnya.
Terkait dengan pengabdian ini, mahasantri semester III dan V IAIN Sunan Ampel Surabaya mendapat bagian empat mata acara, yaitu penyuluhan masyarakat, pelatihan manajemen organisasi, motivasi briffing, dan mendirikan stand. Khusus mata acara terkhir, setiap Perguruan Tinggi wajib melaksanakan karena akan difungsikan sebagai pusat informasi masing-masing Perguruan Tinggi. Lalu seperti apa konsep tahun yang akan datang? Mari kita tunggu saja!